Resensi The Batman (2022), Kisah Pahlawan Pangeran Gotham

The Batman (2022) merupakan salah satu film bioskop yang paling ditunggu-tunggu oleh para fans DC di dunia. Film ini naskahnya ditulis oleh Matt Reeves dan Peter Craig serta disutradarai oleh Matt Reeves, sutradara yang juga menyutradarai film Cloverfield (2008), Dawn of the Planet of the Apes (2014), War for the Planet of the Apes (2017).

Berbeda dari film-film Batman sebelumnya, kita tidak akan melihat adegan bagaimana kisah tragis kematian kedua orang tua Bruce Wayne (Robert Pattinson), karena semua orang sudah memahami dan tahu bagaimana kejadian tersebutlah yang mendorongnya untuk menjadi kelelawar malam kota Gotham.

Setiap orang punya beragam caranya sendiri untuk berduka, begitu pula dengan Bruce Wayne, ia menjadi pribadi yang merasa bahwa kematian kedua orang tuannya merupakan akibat langsung dari kota Gotham yang dikuasai oleh penjahat, oleh karena itu ia berusaha untuk membersihkan Gotham dari para penjahat. Wayne menghabiskan hidupnya sebagai Batman di malam hari dan melupakan kewajiban-kewajiban lainnya sebagai pewaris kekayaan Keluarga Wayne.

The Batman (2022) merupakan film yang mengambil cerita masa awal Bruce Wayne menjadi Batman. Sosoknya hanya ditakuti oleh penjahat-penjahat kecil, penjahat besar di Gotham seperti Carmine Falcone (John Turturro) atau Oswald “Oz” Cobblepot / Penguin (Colin Farrell) belum merasakan ancaman dari keberadaan Batman. Ia masih menjadi sosok Batman yang “belajar”, tidak semua tindakan yang ia lakukan merupakan tindakan yang “benar-benar” dipikirkan dengan baik segala konsekuensi dan akibatnya.

The Batman (2022), Film yang Indah!!

Salah satu kekuatan dari The Batman (2022) adalah sinematografinya yang luar biasa, di dalam bioskop kita bisa merasakan bagaimana busuknya kota Gotham. Adegan The Batman (2022) sebagian besar diambil malam hari dan dalam keadaan hujan atau lembab, tidak banyak adegan yang memunculkan sinar matahari dalam film ini.

Alur cerita The Batman (2022) tidak seperti film superhero kebanyakan, film ini bertipe slow-burn dimana Batman bersama dengan James Gordon (Jeffrey Wright) berusaha untuk mengungkap kasus pembunuhan berantai terhadap pejabat tinggi Kota Gotham yang dilakukan oleh Edward Nashton/Riddler (Paul Dano).

Riddler bukanlah musuh yang mudah dikalahkan, ia penjahat yang cerdas dan memiliki rencana yang jelas. Dirinya termotivasi oleh rasa balas dendam terhadap orang-orang yang membuat Gotham menjadi hancur, para pejabat korup yang memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan diri sendiri dan mengorbankan rakyat Gotham. Manifesto Riddler-pun juga diterima oleh beberapa masyarakat Gotham, dimana mereka berubah menjadi pasukan untuk menghancurkan Batman.

Menurut penulis, apa yang dilakukan Riddler dan Batman tidaklah jauh berbeda, mereka sama-sama bertujuan untuk menyingkirkan orang-orang yang menghancurkan Gotham tetapi mereka punya sudut pandang dan cara yang berbeda, Riddler melihat ke “atas” sedangkan Batman melihat ke “bawah”.

Sebagian besar adegan dalam The Batman (2022) terjadi pada malam hari, hanya sedikit yang dilakukan pada pagi atau siang hari. Adegan saat pagi atau siang hari adalah adegan dimana Batman mendapatkan sebuah “harapan”, hal ini sering kali terjadi ketika Batman bertemu dengan Selina Kyle a.k.a Cat Woman (ZoĆ« Kravitz), hal yang sama juga terjadi pada epilog dari film ini, Batman seakan-akan mendapatkan pencerahan mengenai apa yang seharusnya dilakukan Batman, ia bisa menjadi cahaya bagi warga Gotham tetapi ia perlu mengubah caranya menjadi Batman.

Satu lagi hal yang disadari oleh Bruce Wayne bahwa ia bisa membantu Gotham dengan menjadi seorang Batman tetapi juga menjadi seorang Wayne, seorang pangeran dari Gotham!!

Singkat kata
“The Batman (2022) merupakan film manusia super bertempo lambat, berkisah mengenai upaya Batman untuk menangkap dan mengungkap Riddler yang membunuh dengan keji pejabat tinggi kota Batman”

Penulis memberikan bintang 3 (***/***) untuk film ini, jangan sampai kelewatan! Selamat menonton!!

Resensi Joker (2019), Cerita Tokoh Antagonis DC

Penulis termasuk rombongan telat yang menonton Joker (2019) oleh karena itu, penulis sudah banyak mendapatkan spoiler film ini dari sosial media. Salah satu informasi pentingnya adalah tokoh yang diperankan oleh Joaquin Phoenix (Arthur Fleck) merupakan seseorang yang menderita gangguan kejiwaan dimana salah satu akibatnya adalah dirinya terkadang tidak bisa membedakan mana khayalan dan kenyataan.

Hal tersebut diperlihatkan dalam kisah hubungan Fleck dengan Sophie Dumond (Zazie Beetz) tetangga satu lantai apartemen beranak satu yang ia temui tidak sengaja saat sedang naik lift. Fleck berkhayal bahwa mereka memiliki hubungan romantisme.

“Happy Face”

Arthur Fleck memang karakter yang memiliki beragam permasalahan pada film Joker (2019), ia hanya tinggal berdua dengan ibunya Penny Fleck (Frances Conroy) yang sudah tua dan tidak mampu melakukan apa-apa, Fleck hanya bekerja sebagai badut dengan penghasilan terbatas dan mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial Kota Gotham sebelum dihentikan.

Bekerja sebagai seorang badut merupakan cita-cita yang ditanamkan oleh ibunya, selama menjadi badut ia juga berusaha menulis materi untuk bisa menjadi seorang stand-up comedian. Walaupun Hidup Arthur serba kekurangan tetapi ia hidup di jalur yang tepat sampai beragam “stresor” dihidupnya mengiring ia menjadi seorang “Joker”.

Tokoh-tokoh yang berperan melukai dan menjadi stressors bagi Arthur di film Joker (2019) ada banyak tetapi salah satunya adalah ibunya sendiri yang bernama Penny. Penny membesarkan Arthur dalam kebohongan besar mengenai asal-usul dirinya, Arthur juga pernah mengalami kekerasan fisik saat masih kecil sehingga ia menderita cacat permanen yang menyebabkan ia memiliki penyakit Pseudobulbar Affect (PBA). Kehobongan-kebohongan Penny baru terungkap ketika Arthur mendatangi Arkham State Hospital untuk mendapatkan catatan kesehatan ibunya.

Tokoh lain yang ‘melukainya’ adalah rekan-rekan kerjanya, Arthur difitnah mengenai kepemilikan senjata api yang ia bawa saat menghibur anak-anak di rumah sakit sehingga ia kehilangan pekerjaan.

Ada pula Murray Flanklin (Robert De Niro), seorang pembawa acara terkenal yang acaranya ditonton oleh Penny setiap hari. Murray mengundang Arthur untuk tampil ke dalam acaranya dengan niatan tidak tulus yaitu untuk mengolok-olok Arthur dan stand-up comedy-nya.

Tentunya aktor terakhir yang paling merusak Arthur adalah Kota Gotham itu sendiri. Kota metropolitan ini memiliki angka kesenjangan sosial yang tinggi, warganya tidak memiliki empati dengan sesama yang kekurangan, perilaku korupsi dimana-mana. Sebuah kota yang telah kehilangan moralnya.

Joker (2019), Cerita bagaimana Media melahirkan sosok joker

Film Joker (2019) mengisahkan bagaimana perjalan Arthur menjadi sosok Joker, Saat perjalanan pulang ke rumah setelah dipecat dari pekerjaannya, Arthur berada satu gerbong dengan tiga pria mabuk yang bekerja untuk perusahaan Wayne. Penyakit PBA Arthur kambuh, ia tidak bisa menghentikan tawanya ketika melihat perilaku ketiga orang tersebut, merasa tesinggung ketiga orang tersebut menganiaya Arthur. Arthurpun membela diri dengan menggunakan senjata api yang ia bawa. Ketiga orang itu tewas, Arthur berhasil melarikan diri.

Penyelidikan oleh polisi dan kesaksian menghasilkan sketsa seseorang berwajah berdandan badut yang menjadi pelaku kejahatan keji tersebut. Media terus menggoreng kasus tersebut, Thomas Wayne menyatakan simpati dan menyatakan bahwa seluruh pegawai Wayne adalah keluarga.

Kemudian, Topeng badut menjadi simbol perlawanan masyarakat kelas bahwa, pembunuhan 3 pegawai Wayne menjadi simbolisasi perlawanan kelas bawah terhadap simbol pemilik modal yang diwakili oleh Wayne.

Arthur-pun “memilih” acara yang diasuh oleh Murray Flanklin sebagai tempat dimana ia mengakui bahwa dirinya yang membunuh 3 pegawai Wayne di kereta. Media-lah yang menginsiprasi Arthur, dan lewat media juga-lah Arthur berani mengambil sikap tegas bahwa ia adalah “Joker (2019)

Joker (2019) mendefinisikan bagaimana arthur “Take a Control” pada kehidupannya

Satu detail menarik dari film ini adalah bagaimana pemilihan warna menjadi lebih terang dan bercahaya selepas Penny tewas di tangan Arthur. Hal ini penulis nilai sebagai simbolisasi bahwa selama ini ‘jadi diri Arthur’ terkekang dengan keberadaan Penny.

Cara pandang Arthur terhadap dunia berubah saat Ibunya tewas, ia seperti mendapatkan “enlightening moment” yang menginspirasinya menjadi seorang Joker.

Walaupun film ini menarik tetapi film ini memiliki alur cerita yang lambat, bagi penonton yang tidak benar-benar datang untuk menyaksikan film yang menjelaskan kelahiran Joker di layar perak film ini akan terkesan membosankan karena film ini adalah film drama bukan film aksi!

“Singkat Kata, Joker (2019) akan membawa perasaanmu naik-turun, memahami bahwa banyak faktor yang menyebabkan seorang Arthur menjadi sosok Joker yang legendaris sebagai musuh Batman

Penulis memberikan nilai 4.0/5.0 untuk film ini.
Selamat menonton!